Jakarta, PersatuanBangsa.com
di tengah riuhnya perbincangan tentang identitas dan peran minoritas, Sekolah Tinggi Teologi IKAT menjadi saksi bisu sebuah dialog kebangsaan yang tak biasa. Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III, S.E., M.Tru., M.Si. atau yang akrab disapa Arya Wedakarna (AWK) hadir bukan untuk memberikan sanjungan, melainkan melontarkan “sentilan kebangsaan” yang diharapkan mampu menggugah generasi Kristen. Bukan bermaksud merendahkan, namun sudah saatnya kita bertanya: apakah kita sudah cukup berkontribusi, atau justru terlalu nyaman dalam pusaran keluhan?
Arya Wedakarna, Senator DPD RI sekaligus Tokoh Muda Hindu, datang bukan dengan pidato yang membuai, melainkan dengan “sentilan kebangsaan” yang membangunkan.
Arya, dengan gaya khasnya yang blak-blakan, mempertanyakan mentalitas “korban” yang kadang menghinggapi sebagian umat Kristen. Ia seolah berkata, “Saudara-saudara, kita ini bukan penonton dalam sandiwara sejarah! Jangan terlena dalam ratapan minoritas, mari rebut peran utama!” Dalam bahasa Jawa, ini sejalan dengan “aja dumeh,” jangan mentang-mentang. Generasi muda Kristen tidak boleh mentang-mentang menjadi minoritas lalu merasa berhak untuk terus mengeluh. Dalam bahasa Sunda, kita bisa katakan “ulah adigung adiguna,” jangan sombong dan merasa paling benar. Hal ini selaras dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3), yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, namun dengan tetap menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan bangsa.
Tentu, “sentilan” ini mungkin terasa kurang nyaman bagi sebagian pihak. Ada yang mungkin merasa, “Ah, mudah baginya berbicara, toh dia bukan bagian dari kita!” Namun, justru di sinilah urgensi dari apa yang disampaikan Arya. Ia tidak berupaya menjadi sosok yang menyenangkan semua orang, melainkan alarm yang mengingatkan kita untuk terus berbenah. Seperti kata pepatah Jawa, “wani ngalah, luhur wekasane,” berani mengalah akan mulia pada akhirnya. Generasi muda Kristen harus berani mengesampingkan ego dan kepentingan pribadi demi tujuan yang lebih besar, yaitu membangun bangsa. Dalam bahasa Sunda, ada “kudu silih asah, silih asih, silih asuh,” harus saling menajamkan, saling menyayangi, dan saling mengayomi. Semangat ini juga tercermin dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025–2045, yang menekankan pentingnya partisipasi seluruh komponen bangsa dalam mencapai tujuan bernegara.
Arya mengingatkan bahwa di era digital ini, generasi muda Kristen tidak bisa lagi hanya menjadi netizen yang gemar mengkritik di media sosial. Mereka harus bertransformasi menjadi technopreneur yang menciptakan solusi, influencer yang menyebarkan inspirasi, dan leader yang menggerakkan perubahan. Mereka harus “eling lan waspada,” selalu ingat dan waspada terhadap setiap informasi yang mereka konsumsi dan sebarkan. Dalam bahasa Sunda, “kudu uмет mawas diri,” harus pandai introspeksi diri. Hal ini relevan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Ia juga menyinggung soal kesehatan mental, isu yang sering kali terabaikan. Arya seolah berpesan, “Jangan biarkan komentar negatif merusak kedamaian batin kalian! Jaga pikiran, jaga hati, jaga feed Instagram!” Ini selaras dengan filosofi Jawa “memayu hayuning bawana,” yang berarti menjaga keindahan dan keseimbangan dunia, termasuk dunia batin kita sendiri. Dalam bahasa Sunda, “sing tetep merhatikeun kana kasehatan jiwa,” harus rajin memperhatikan kesehatan jiwa.
Namun, yang paling menarik adalah pesan Arya tentang Pancasila. Ia dengan lugas menyatakan bahwa Pancasila itu relevan bagi semua agama, termasuk Kristen. Ini adalah sindiran halus bagi mereka yang masih meragukan atau bahkan alergi terhadap ideologi negara. Arya seolah berkata, “Pancasila itu bukan momok yang menakutkan, melainkan fondasi yang mempersatukan kita!” Seperti filosofi “guyub rukun,” bersatu padu, Pancasila adalah wadah yang mempersatukan kita semua. Dalam bahasa Sunda, “sakabeh ge bisa ngahiji dina Pancasila,” semua bisa bersatu dalam Pancasila.
Tentu saja, semua “sentilan” ini tidak akan berdampak signifikan jika tidak ada aksi nyata. Generasi muda Kristen harus berani keluar dari zona nyaman, terlibat dalam kegiatan sosial, berpolitik dengan cerdas, dan membuktikan bahwa iman mereka adalah kompas moral yang membimbing mereka untuk berbuat baik. Mereka harus “sepi ing pamrih, rame ing gawe,” bekerja keras tanpa mengharapkan imbalan demi kemajuan bangsa. Dalam bahasa Sunda, “gerak karya, tong loba ngalamun,” harus banyak bekerja, jangan banyak bermimpi.
Dialog di STT IKAT telah membuka ruang diskusi yang jujur dan konstruktif. Arya Wedakarna, dengan segala kontroversinya, telah memberikan “sentilan kebangsaan” yang menyegarkan. Sekarang, giliran generasi muda Kristen untuk membuktikan bahwa mereka mampu mengubah “sentilan” ini menjadi energi positif yang membawa perubahan bagi bangsa. “Adigang, adigung, adiguna,” jangan sombong dengan kekuatan, kekuasaan, atau kepandaian yang dimiliki. Dalam bahasa Sunda, “ulah sok ngarasa aing uyah kidul,” jangan merasa diri paling penting.
(Red)