Bekasi – PersatuanBangsa.com
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai kunci pembuka gerbang menuju generasi emas. Namun, dalam implementasinya, program ini menghadapi berbagai tantangan yang menuntut evaluasi kritis dan mendalam. Artikel ini bertujuan untuk meninjau kembali program MBG, mengidentifikasi akar masalah, dan mencari solusi konkret untuk memastikan masa depan generasi emas Indonesia tidak terancam, melainkan benar-benar terwujud.
Sebagai seorang jurnalis, saya merasa terpanggil untuk tidak hanya menjadi corong penguasa, tetapi juga menjadi suara yang merefleksikan realitas di lapangan. Kisah tentang pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan sekadar berita; ini adalah potret buram tentang bagaimana niat baik, jika dikelola dengan tangan-tangan yang lalai dan hati yang abai, bisa berujung pada ironi yang memilukan.
Injil Matius 25:35-40 memang mengajarkan kita untuk memberi makan mereka yang lapar. Namun, apakah memberi makan dengan makanan yang berpotensi meracuni adalah wujud kasih yang sejati? Atau justru bentuk pengabaian yang paling keji, sebuah pengkhianatan terhadap amanah ilahi dan kemanusiaan?
Insiden-insiden yang melibatkan keracunan atau masalah kualitas pangan dalam program ini adalah tamparan keras bagi kita semua. Bagaimana mungkin sebuah program yang bertujuan mulia untuk memberikan berkat, justru menjadi sumber petaka yang berulang? Di sinilah kita perlu merenungkan kembali tanggung jawab moral kita sebagai individu, masyarakat, dan pemerintah. Apakah kita sudah cukup peduli, atau justru terlalu sibuk mencari panggung, popularitas, dan keuntungan pribadi di atas penderitaan orang lain?
Perumpamaan tentang pengurus yang tidak setia (Lukas 16:1-13) seharusnya menjadi cermin bagi para pengelola program MBG. Apakah mereka sudah mengelola amanah ini dengan jujur dan bertanggung jawab, atau justru sibuk memperkaya diri sendiri, sementara anak-anak bangsa merana, bahkan mempertaruhkan nyawa mereka demi sepiring nasi?
Tragisnya, kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi dalam program MBG sejak awal pelaksanaannya. Di berbagai daerah, dilaporkan oleh berbagai media massa, terjadi masalah serupa yang mencoreng citra program ini. Seolah-olah, negeri ini sudah kebal terhadap tragedi, dan anak-anak adalah tumbal yang tak ternilai harganya dalam pusaran birokrasi yang abai.
Lantas, apa yang sebenarnya salah dengan program MBG ini? Apakah masalahnya terletak pada perencanaan yang kurang matang, pengawasan yang lemah, atau bahkan praktik korupsi yang merajalela yang sudah menjadi budaya di negeri ini? Mengapa kasus-kasus ini terus berulang, seolah-olah kita tidak belajar dari kesalahan masa lalu, atau memang sengaja melupakannya demi menjaga citra semu? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur dan transparan, agar kita bisa menemukan solusi yang tepat dan efektif, bukan sekadar mencari kambing hitam untuk menutupi kebobrokan sistem yang sudah akut.
Dalam bahasa Sunda, ada pribahasa “Kawas Gaul Teu Jeung Peuyeum”. Artinya, seperti bergaul tetapi tidak dengan tape singkong. Filosofinya, ini menggambarkan sebuah tindakan atau program yang terlihat baik di permukaan, tetapi sebenarnya tidak memberikan manfaat atau bahkan merugikan. Pribahasa ini sangat relevan dengan program MBG, yang seharusnya memberikan gizi, tetapi justru berpotensi meracuni anak-anak.
Program MBG sendiri, seperti yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo dalam kampanye Pilpres 2024, memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, terutama dari keluarga kurang mampu, sehingga mereka dapat tumbuh sehat, cerdas, dan berprestasi. Tujuan ini secara spesifik dapat ditemukan dalam dokumen visi-misi atau platform kebijakan yang disampaikan oleh tim kampanye Prabowo-Gibran selama Pilpres 2024, yang sering disebut sebagai ‘Asta Cita’ atau ‘Program Prioritas’. Program ini diharapkan dapat memutus rantai stunting, meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, dan pada akhirnya, membawa Indonesia menuju kemajuan dan kesejahteraan. Namun, jika program ini hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan dan popularitas, tujuan mulia tersebut akan selamanya menjadi utopia belaka, sebuah janji manis yang menguap di tengah pahitnya realitas.
Kejadian-kejadian ini jelas melanggar hak-hak anak yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang. Selain itu, Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Apakah kita sudah benar-benar menjamin hak-hak ini, atau justru menginjak-injaknya demi kepentingan pribadi dan golongan, dengan dalih “program mulia”?
Dalam bahasa Jawa, ada ungkapan “Jer Basuki Mawa Bea”. Artinya, untuk mencapai keberhasilan dibutuhkan pengorbanan. Filosofinya, setiap tujuan besar memerlukan usaha, biaya, dan tanggung jawab yang sepadan. Jika program MBG ingin berhasil mencapai tujuannya, maka diperlukan investasi yang serius dalam perencanaan, pengawasan, dan pelaksanaan yang berkualitas, bukan sekadar janji-janji manis tanpa realisasi.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa masalah dalam program MBG adalah akibat dari kelalaian, ketidakprofesionalan, dan mungkin juga korupsi yang menggurita. Prinsip-prinsip keamanan pangan yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam program MBG, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, justru diabaikan demi kepentingan sesaat. Ini adalah dosa besar yang harus kita akui dan perbaiki bersama, bukan sekadar ditutupi dengan janji-janji manis yang tak pernah ditepati, atau laporan-laporan fiktif yang hanya mempercantik angka di atas kertas.
Dalam bahasa Minahasa, ada pepatah “Si Tou Timou Tumou Tou”. Artinya, manusia hidup untuk menghidupi manusia lain. Filosofinya, setiap individu memiliki tanggung jawab sosial untuk saling membantu dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Implementasi program MBG seharusnya mencerminkan semangat ini, dengan memastikan bahwa setiap anak mendapatkan makanan bergizi yang layak dan aman, sehingga mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang sehat dan produktif.
Namun, di tengah kegelapan yang pekat ini, masih ada secercah harapan yang menyala. Kita perlu meneladani semangat mereka yang berjuang untuk kebaikan, untuk tidak hanya mengkritik dengan lantang, tetapi juga memberikan solusi nyata, bukan hanya sekadar beretorika tanpa makna.
Sebagai jurnalis, saya percaya bahwa kita dipanggil untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara, untuk membela kebenaran dan keadilan, dan untuk membawa harapan di tengah keputusasaan. Program MBG adalah harapan bagi masa depan anak-anak kita, dan kita tidak boleh membiarkan harapan itu padam hanya karena tata kelola yang buruk, korupsi yang merajalela, dan ketidakpedulian yang sudah mendarah daging dalam sistem.
Mari kita bersatu, sebagai warga negara Indonesia, untuk menuntut perbaikan tata kelola program MBG secara menyeluruh. Mari kita memastikan bahwa setiap anak mendapatkan makanan bergizi yang aman dan sehat, sehingga mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang kuat, cerdas, dan berakhlak mulia. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi korban dari sistem yang bobrok dan penguasa yang korup, yang hanya peduli pada citra dan kekuasaan.
Ingatlah pesan Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Mari kita jadikan program MBG ini sebagai wujud nyata dari kemuliaan Allah, dengan memberikan yang terbaik bagi anak-anak bangsa, bukan dengan meracuni mereka dengan makanan yang tidak layak dan janji-janji kosong.
MBG adalah salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah. Namun, kemuliaan sebuah program tidak akan berarti apa-apa jika tidak diimbangi dengan integritas, transparansi, dan akuntabilitas yang nyata. Apa pun yang terjadi, program ini harus menjadi momentum bagi kita untuk mengevaluasi kembali sistem dan tata kelolanya secara menyeluruh, bukan hanya sekadar menambal sulam kekurangan yang ada, atau mengelak dari tanggung jawab.
Oleh karena itu, program ini harus diawasi dan dimonitoring secara ketat, jangan sampai MBG hanya sekadar menjadi alat untuk memenuhi janji-janji politik, tetapi juga harus dikelola secara profesional dan transparan, dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil, akademisi, dan media massa yang independen. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu melibatkan pihak-pihak yang kompeten dan berintegritas dalam pengawasannya, sehingga potensi penyimpangan dapat dicegah dan ditindak tegas, tanpa pandang bulu, bahkan jika itu melibatkan lingkaran kekuasaan sekalipun.
Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa MBG benar-benar menjadi berkat bagi anak-anak Indonesia, bukan malah menjadi sumber petaka yang akan menghantui kita selamanya.
Jangan biarkan sepiring berkat berubah menjadi sepiring racun yang akan merusak masa depan generasi emas Indonesia. Ingatlah, masa depan bangsa ini ada di tangan kita. Jangan sia-siakan amanah ini, dan jangan khianati kepercayaan rakyat.
(Red)