Bogor – PersatuanBangsa.com
Di balik gemerlap dunia informasi, ada kisah yang jarang terungkap: kisah tentang darah dan air mata jurnalisme independen/Jurnalisme Media online. Mereka bukan sekadar pencari berita, melainkan pejuang kebenaran yang rela mempertaruhkan segalanya demi mengungkap fakta dan menyuarakan suara-suara yang terpinggirkan.
Mereka adalah para idealis yang percaya bahwa informasi adalah kekuatan, dan kebenaran adalah hak setiap manusia. Namun, perjuangan mereka tak pernah mudah. Mereka menghadapi berbagai rintangan: dari tekanan ekonomi, hingga ancaman fisik. Inilah kisah jurnalisme independen: sebuah epik tentang keberanian, pengorbanan, dan harapan di tengah kegelapan.
Bayangkan seorang jurnalis independen yang juga pemilik media online : bukan hanya reporter yang mencari berita, tapi juga ahli hukum yang harus memahami seluk-beluk Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik, hingga UU ITE. Mereka adalah “one-man show” yang berjuang di tengah belantara hukum, dengan modal idealisme dan perlindungan yang minim. Mereka harus berjuang sendirian, tanpa dukungan korporasi besar atau kekuatan politik yang melindungi. Mereka adalah para “Daud” yang berani melawan “Goliath” kekuasaan.
Mereka menggali fakta, menyuarakan kebenaran, dan mengangkat isu-isu yang seringkali diabaikan media mainstream. Namun, apa yang mereka dapatkan? Gaji yang tak seberapa, jam kerja yang tak teratur, dan risiko yang selalu mengintai. Ancaman pidana, tuntutan pencemaran nama baik, dan intimidasi yang merajalela. Ini bukan hanya ironi, ini adalah pengkhianatan terhadap idealisme mereka. Mereka seringkali menjadi sasaran empuk bagi pihak-pihak yang merasa terusik oleh pemberitaan mereka. Mereka harus hidup dalam ketakutan, namun tetap berani menyuarakan kebenaran.
Banyak narasumber yang enggan memberikan informasi kepada jurnalis independen, dengan alasan privasi atau kepentingan pribadi. Mereka lebih memilih untuk berbicara kepada media besar yang memiliki jangkauan luas dan pengaruh kuat. Mereka menganggap jurnalis independen sebagai “pengganggu” yang tidak penting. Padahal, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas menyatakan bahwa “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Ini berarti, masyarakat (termasuk jurnalis) memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Selain itu, Pasal 6 huruf a UU Pers juga menyebutkan bahwa pers nasional mempunyai peranan “memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.” Ini berarti, narasumber (terutama pejabat publik) memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan akurat kepada pers, kecuali jika informasi tersebut dikecualikan oleh undang-undang. Mereka harus memahami bahwa informasi yang mereka miliki adalah amanah publik, dan jurnalis memiliki hak untuk mengaksesnya. Namun, egoisme kekuasaan seringkali membutakan mereka, sehingga mereka mengabaikan hak publik untuk tahu.
Tindakan intimidasi, penghalangan, dan kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghalang-halangi atau mempersulit wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Sayangnya, pasal ini seringkali tidak ditegakkan dengan maksimal. Banyak pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang lolos dari jerat hukum, atau hanya mendapatkan hukuman ringan. Ini mengirimkan pesan yang salah kepada publik, bahwa kebebasan pers bisa dilanggar tanpa konsekuensi yang berarti. Impunitas adalah luka demokrasi yang tak kunjung sembuh. Setiap tindakan kekerasan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap kebebasan kita semua.
Bayangkan seorang penyuluh yang berjalan sendirian di tengah hutan belantara informasi. Ia membawa obor kebenaran, berusaha menerangi jalan bagi mereka yang tersesat. Ia harus menghadapi berbagai bahaya: dari binatang buas disinformasi, hingga jurang ketidakpedulian. Meskipun seringkali ia merasa lelah dan putus asa, ia terus berjalan, karena ia tahu bahwa cahaya kebenaran akan membawa harapan bagi mereka yang membutuhkan. Jurnalis independen adalah penyuluh di tengah hutan belantara, yang terus berjuang untuk memberikan informasi yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam filosofi Jawa, terdapat ungkapan “Memayu Hayuning Bawana”, yang berarti “Berbuat Baik untuk Kesejahteraan Dunia”. Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam, bahwa setiap tindakan kita harus bertujuan untuk menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Jurnalis independen adalah воплощением dari filosofi ini, yang terus berjuang untuk mengungkap kebenaran, meskipun menghadapi berbagai rintangan dan ancaman. Mereka percaya bahwa dengan menyuarakan kebenaran, mereka dapat memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan dunia.
Kita semua menuntut pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Kita ingin informasi yang benar dan berimbang. Tapi, bagaimana kita bisa mencapai itu jika jurnalisme independen terancam?
Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 adalah jaminan konstitusional bagi hak kita untuk mendapatkan informasi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Ini bukan sekadar kata-kata di atas kertas, melainkan fondasi bagi partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa akses terhadap informasi yang benar dan berimbang, kita tidak bisa membuat keputusan yang tepat, mengawasi jalannya pemerintahan, atau memperjuangkan hak-hak kita sebagai warga negara. Kita harus menyadari bahwa jurnalisme independen adalah investasi bagi masa depan demokrasi kita. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian!
Ini bukan saatnya untuk berdiam diri. Kita semua memiliki peran untuk dimainkan:
– Masyarakat: Hargai setiap informasi yang disajikan oleh jurnalis independen. Verifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Dukung jurnalisme independen dengan membaca, membagikan, dan memberikan donasi. Laporkan setiap tindakan intimidasi atau kekerasan terhadap jurnalis. Jadilah konsumen informasi yang cerdas dan kritis.
– Pemerintah: Jamin kebebasan pers dan lindungi jurnalis dari segala bentuk ancaman dan intimidasi. Tegakkan hukum secara adil dan transparan. Berikan dukungan finansial dan pelatihan kepada jurnalis independen. Jadilah pelindung kebebasan pers, bukan penghalang.
– Aparat Penegak Hukum: Tindak tegas pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis. Jangan biarkan impunitas merajalela. Jadilah penegak hukum yang adil dan berpihak pada kebenaran.
– Jurnalis Independen: Teruslah berpegang pada Kode Etik Jurnalistik. Jangan takut untuk mengungkap kebenaran, meskipun pahit. Jalinlah kolaborasi dan solidaritas antar jurnalis independen untuk saling menguatkan. Jadilah inspirasi bagi generasi muda untuk mencintai kebenaran.
Jurnalisme independen adalah harapan terakhir bagi demokrasi kita. Jika harapan ini padam, maka kegelapan akan merajalela. Ini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah panggilan jiwa: kita harus berdiri bersama, menegakkan hukum, dan melindungi setiap jurnalis yang berani menyuarakan kebenaran. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian dalam kegelapan. Mari kita bersatu, karena di setiap dukungan yang kita berikan, di setiap perlindungan yang kita jamin, kita sedang membangun masa depan demokrasi yang lebih cerah dan berkeadilan bagi bangsa ini!
Oleh Romo Kefas (Kefas Hervin Devananda)
Penulis adalah seorang jurnalis di Pewarna Indonesia yang aktif engangkat isu-isu kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Dedikasinya dalam dunia jurnalistik telah memberikan kontribusi nyata dalam menyuarakan kebenaran.